“Apakah kau melihatnya?”
Tangannya menunjuk ke arah langit yang
diselimuti warna jingga yang bagiku sama seperti warna matanya.
“Iya aku melihatnya.”
“Kenapa langit itu bisa berubah-ubah
warna? Tadi biru, sekarang jingga, dan nanti hitam. Bisa juga kelabu seperti
saat mendung, dan bahkan ada banyak warna di sana ketika pelangi tiba.”
Aku diam.
***
“Wahai Jibril, indahkah ciptaan-Ku
menurutmu?”
“Ciptaan mana yang tak indah dari-Mu
wahai Tuhanku? Segala ciptaan-Mu teramat begitu indah.”
“Tapi Aku merasa ada yang kurang.”
“Apa itu wahai Tuhanku?”
“Bagaimana nanti manusia akan melihat
dengan jelas jika dunia yang Kubuat ini selalu gelap?”
“Kalau begitu tambahkan saja warna
apapun yang Engkau suka wahai Tuhanku.”
“Baiklah, kalau begitu akan Kubuat warna
hitam ini menjadi malam, biru sebagai siang, jingga ketika petang, kelabu saat
mendung dan datangnya hujan, dan merah jingga kuning hijau biru nila dan ungu
untuk warna pelangi, agar manusia tak terlalu larut dalam warna kelabu, dan sebagai
isyarat kalau masih ada bahagia setelah kesedihan.”
“Oh Tuhanku, Engkau sungguh pencipta
terbaik.”
***
Ibu selalu bercerita kepadaku sebelum
aku tidur dan ceritanya selalu saja sama, tentang penciptaan warna-warna yang
silih berganti menghiasi langit. Aku tak bosan. Bahkan aku selalu menikmati
setiap kata yang keluar dari bibirnya. Bibir yang selalu mendarat di keningku
saat aku mulai terlelap. Bibir yang tak akan pernah berhenti membuat seorang
anak merasa senang bahkan ketika ia dirundung kesedihan.
Mataku perlahan terpejam dalam
pelukannya. Dan di tengah itu aku kerap mendengar sedikit isak tangis keluar
dari bibirnya. Bahkan sesekali aku merasakan air matanya jatuh perlahan di
pipiku. Seperti rintik hujan, dingin dan membuat hati merasa begitu kesepian.
“Ibu menangis?”
“Tidak, sayang. Ibu hanya merasa ada
sesuatu masuk ke mata Ibu hingga terasa perih.”
“Mau aku tiupkan, Bu?”
“Tidak usah, ini sudah hilang sayang.”
Aku tahu ibu sedang menangisi Ayah.
Lelaki yang jarang sekali ada untuk kami berdua, yang lebih senang berada di
luar ketimbang di rumah bersama istri dan anaknya.
***
“Mau ke mana kamu?”
“Sudah urusi saja anakmu itu!”
Pyaaaaaaaarrrrr!!!
Terdengar gelas dilempar hingga pecah
dengan begitu keras. Aku sedang tidur di kamar waktu itu. Tapi teriakan-teriakan
itu terdengar begitu lantang di telingaku seperti memaksa untuk membuka mataku.
“Apakah kamu mau menginap lagi di rumah
selingkuhanmu?”
“Bukan urusanmu!!!”
Dadaku sesak. Entah kenapa. Tapi aku
merasa seperti ada yang melempar sesuatu yang tajam ke hatiku hingga seketika
nafasku tersendat. Aku tahu Ibu sedang tidak baik-baik saja dengan Ayah. Tapi
aku tak berani keluar. Di sana amarah sedang beradu, dan pembicaraan mereka tak
akan mudah dimengerti untuk anak kecil sepertiku.
Dhaaaaaarrr!!
Pintu tertutup dengan sangat kerasnya
seperti didorong dengan begitu kencangnya.
Tak beberapa lama pintu kamarku terbuka
dan aku pura-pura tertidur. Ibu berbaring di sampingku dan mendaratkan bibirnya
di keningku. Terdengar sangat jelas isak tangisnya di telingaku, tapi aku tak
berani membuka mata. Aku tak mau ibu bertambah sedih karena aku melihatnya
menjatuhkan butir-butir air mata dari sepasang matanya yang berwarna jingga.
Malam itu kami tidur berdua. Ibu
memelukku. Namun aku tak bisa memejam. Begitu banyak hal yang memaksa mataku
untuk terbuka. Masih terngiang jelas teriakan-teriakan dan gelas yang pecah
yang menggema di telinga dan mengendap di kepalaku. Aku tak paham dengan jelas,
tapi aku rasa Ayah sudah jahat dengan Ibu. Aku benci.
***
“Hei, kenapa melamun?”
“Ah tidak.”
Kutatap senja yang begitu ranum di
pelukan samudera. Angin berdesir lirih menyelimuti tubuhku. Nafasku panjang,
“Heemmmmmmm...”
“Sayang, jika menikah nanti aku ingin
kita bersaksi di sore hari, di bawah payung jingga dengan suara camar yang
riang kembali ke sarangnya. Apakah kau bersedia?”
Hening.
“Sayang?”
Sunyi.
“Apakah kau bersedia?”
“Aku harus pulang.”
“Tapi kenapa? Kita belum selesai
bicara.”
Kakiku melangkah pergi. Angin bertiup
membawa daun yang jatuh terbang tinggi. Perlahan senja tenggelam. Jingga
berganti hitam.
Aku harus pulang. Aku sudah tiga hari
pergi. Istri dan anakku pasti menunggu. Aku tak mau anakku merasakan hal sama
denganku: menunggu Ayahnya pulang, bukan hilang.
Mei, 2016